Rabu, 18 Juni 2025

Petani Jejangkit Batola Kesulitan Tanam, Walhi Kalsel Harap Oplah Rawa Tak seperti Lahan HPS

Gambar terkait Petani Jejangkit Batola Kesulitan Tanam, Walhi Kalsel Harap Oplah Rawa Tak seperti Lahan HPS (dari Bing)

Hari Ini,MARABAHAN - Dalam upaya memperkuat ketahanan pangan nasional, yang menjadi prioritas Presiden Prabowo Subianto melalui Asta Cita, berbagai instansi bahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melakukan pembukaan lahan pertanian baru.

Polri dan TNI juga tidak ketinggalan. Lahan yang dibuka antara lain untuk jagung dan padi. Tidak terkecuali di Kalimantan Selatan (Kalsel).

Bahkan belum lama ini, Kementerian Pertanian secara resmi menetapkan Kabupaten Tapin sebagai salah satu daerah prioritas program Optimalisasi Lahan (Oplah) Rawa dan pencetakan sawah baru. Total lahan yang disiapkan mendekati 10 ribu hektare. Hal tersebut sebelumnya dilakukan terhadap Kabupaten Tanahbumbu dan Kabupaten Baritokuala.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman, beberapa waktu lalu, menyebut di Kalsel, rencananya ada pencetakan 30 ribu hektare sawah dan 24 ribu hektare Oplah Rawa.

Namun di tengah pelaksanaan program tersebut, kawasan pertanian Kecamatan Jejangkit, Batola, yang ditetapkan sebagai lokasi Hari Pangan Sedunia (HPS) 16 Oktober 2018, justru seolah makin terlupakan. Padahal, saat dipersiapkan, kawasan itu menyedot begitu banyak anggaran karena digadang-gadang menjadi lumbung padi Kalsel. Apalagi ketika itu dikabarkan bakal didatangi Presiden Joko Widodo.

Dari pantauan BPost beberapa waktu terakhir, kawasan HPS khususnya di Desa Jejangkit Muara, sebagian masih diwarnai aktivitas bertani oleh masyarakat khususnya yang memiliki lahan. Sebagian besar masih dalam tahap pengolahan lahan untuk persiapan tanam. Sebagian lagi dalam tahap penyemaian bibit.

Ditemui di sawahnya, Fahmi mengaku baru melakukan penyemaian karena genangan baru saja mulai surut. “Seandainya dari kemarin-kemarin surut, mungkin tidak terlambat,” ujarnya.

Dibeberkan Fahmi, air pasang menjadi salah satu hambatan di kawasan ini dalam bertani. Tantangan selanjutnya adalah serangan burung dan tikus. “Kalau sudah September-Oktober, biasanya ada serangan tikus dan burung. Makanya belum tahu juga nanti hasilnya seperti apa,” jelasnya.

Kendati sulit, dia memilih tetap berusaha. “Ini sudah menjadi pekerjaan kami, jadi tetap berusaha dan berupaya merawat dan menjaga padi. Masalah hasilnya, nanti,” katanya.

Meski masih ada petani yang menggarap, tak sedikit lahan terbengkalai. Hal ini diakui Kades Jejangkit Muara, Jamhari.

Lahan yang saat ini digarap tidak seluas waktu kegiatan HPS. Penyebabnya karena kawasan ini kerap tergenang. Terlebih beberapa tahun terakhir, terutama pada 2020.

“Selain itu, lahan yang tidak digarap memang pemiliknya juga bukan masyarakat setempat tapi dari luar. Sehingga mungkin tidak tergarap lagi,” bebernya.

Menjelang HPS 2018, Pemprov Kalsel mengerahkan jajarannya untuk mengolah kawasan ini. Bahkan para pegawai diminta menjaganya secara bergantian.

Menurut Jamhari, pascabanjir 2020 aktivitas pertanian di kawasan ini kembali bergeliat bahkan menunjukkan tren positif. Namun akhir 2024 atau awal 2025, banjir kembali melanda sehingga untuk 2025 belum bisa dipastikan luasan yang digarap petani.

“Di desa kami ada enam kelompok tani dan setiap kelompok ada yang lebih dari 50 orang,” katanya.

Kepala Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Jejangkit Agus Suyatno menerangkan lahan produktif di kecamatan ini ada 4.367 hektare. Namun realisasi tanamnya bisa saja lebih kecil karena berbagai kendala. “Air masih tinggi sehingga mengakibatkan keterlambatan tanam. Biasanya April, ini baru tanam Juni sehingga kemungkinan besar mengalami penurunan produksi,” terangnya.

Pertanian di Jejangkit khususnya pada lahan HPS 2018 tak luput dari perhatian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel. Produksi padinya semakin menurun. Pada 2020 produksi padi Jejangkit mencapai 2.879 hektare. Namun pada  2021 menjadi 2.127 hektare dan pada 2022 tinggal 1.104 hektare.

“Ini bukti bahwa tanpa pengelolaan berkelanjutan, proyek besar bisa menjadi bumerang,” kata Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Raden Rafiq, Selasa (17/6). Ini merujuk pada program Oplah Rawa.

Ia menilai pola pembangunan pertanian selama ini bersifat top-down atau dari atas ke bawah, kurang melibatkan petani lokal dan tidak mempertimbangkan daya dukung serta daya tampung lingkungan, terutama di kawasan rawa yang sangat sensitif secara ekologis.

Menurutnya, keberhasilan pertanian tidak bisa hanya diukur dari luas lahan yang dibuka, melainkan harus menyentuh aspek sosial, ekologi, dan ekonomi. Pembukaan lahan jangan menjauhkan petani dari kontrol atas tanah dan hasil panen. “Kalau lahan dikuasai korporasi atau BUMN, sementara petani hanya jadi buruh, maka rakyat tetap tidak berdaulat atas pangannya sendiri,” tegasnya. (ran/msr)

Batola Ditarget 20 Ribu Hektare

Dalam program Optimalisasi Lahan (Oplah) Rawa, Kabupaten Baritokuala mendapat sejumlah target dari Kementerian Pertanian. Targetnya selama lima tahun 20.139 hektare, pompanisasi 500 hektare dan padi gogo tumpangsari perkebunan 973 hektare.

Sampai saat ini hasil Survei Investigasi dan Design (SID) serta Calon Petani Calon Lokasi (CPCL) sudah tersedia. Kontrak konstruksi juga sudah dilakukan. Adapun sosialisasi pelaksanaan konstruksi telah diselenggarakan di lima kecamatan pada 13 Juli 2024.

Kepala Bidang Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (PTPH) Batola Handoko menerangkan pada 2025 kegiatan Oplah Rawa diterapkan di 1.696 hektare. Lahan tersebar di lima kecamatan yakni Tabunganen, Alalak, Anjir Pasar, Belawang dan Wanaraya. Ini berdasarkan usulan CPCL, yang diteruskan ke Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan kemudian ke pemerintah pusat.

Adapun Oplah pada 2024, Handoko menyatakan sekitar 18 ribu hektare dan sudah dilaksanakan.

Handoko menjelaskan kegiatan Oplah Rawa lebih kepada pengelolaan atau normalisasi pengairan. “Untuk tahun lalu sudah digarap dan untuk tahun ini masih proses administrasi. Kemungkinan Juli dan yang mengerjakan nanti dari TNI,” katanya.

Disinggung mengenai target, Handoko meyakini tercapai. “Insya Allah untuk Batola akan tercapai. Apalagi pada 2024 sudah 18 ribuan hektare,” katanya.

Mengenai pencetakan sawah di 2025, Handoko mengatakan 696 hektare. “Lokasinya di Anjir Pasar, Anjir Muara, Wanaraya dan Mandastana,” terangnya.

Menanggapi Oplah Rawa, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan (Kalsel) Raden Rafiq, Selasa (17/6), mengatakan sejumlah pekerjaan harus menjadi perhatian pemerintah daerah agar program ini tidak berakhir seperti kawasan pertanian Hari Pangan Sedunia (HPS) 16 Oktober 2018 di Kecamatan Jejangkit, Batola.

Di antaranya adalah perbaikan sistem tata kelola air, evaluasi proyek pertanian sebelumnya, pelibatan petani lokal secara aktif, penyediaan sarana produksi dan akses pasar, serta pemulihan lahan yang sudah rusak sebelum membuka lahan baru.

Dari sisi lingkungan, Walhi mengingatkan pentingnya menjaga kawasan rawa yang memiliki fungsi ekologis sebagai penyangga air, habitat satwa liar, dan penyeimbang iklim mikro. Jika dikonversi secara masif tanpa kajian yang memadai, program ini justru berisiko menimbulkan bencana ekologis seperti banjir dan kekeringan.

“Tanpa studi lingkungan yang memadai, konversi rawa bisa memicu bencana ekologis seperti banjir, kekeringan, hingga hilangnya keanekaragaman hayati,” jelasnya.

Walhi mendorong model pertanian yang berbasis agroekologi dan pendekatan restoratif, serta menekankan pentingnya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebelum memulai proyek skala besar.

Pendekatan ini juga harus mengedepankan kearifan lokal yang sudah terbukti bertahan bersama alam. “Kami tidak menolak program ketahanan pangan. Tapi jangan sampai dalih itu menjadi pembenaran untuk eksploitasi yang merusak lingkungan dan meminggirkan petani,” tutup Raden. (ran/msr)

0 komentar: