Kamis, 19 Juni 2025

Tinggalkan Mimpi demi Keluarga, Abdul Tewas di Tengah Serangan Rudal di Iran

SEPUTAR CIBUBUR - Abdul Wali, remaja 18 tahun asal Afghanistan yang menjadi tulang punggung keluarga, tewas dalam sebuah serangan udara di Iran. Ayahnya, Abdul Ghani, menuturkan kisah pilu itu dengan mata berkaca-kaca.

“Dia bukan politisi, dia hanya seorang remaja, bekerja keras untuk menghidupi keluarga kami di kampung halaman,” ungkapnya.

Abdul tengah bekerja di sebuah proyek konstruksi di timur laut Teheran, tak jauh dari kompleks militer, ketika serangan itu terjadi pada Selasa lalu. Meski sempat selamat dari reruntuhan, ia menghembuskan napas terakhir beberapa jam kemudian di rumah sakit.

Pemuda itu mengantongi visa kerja dan mengandalkan upahnya untuk menyokong keluarganya di wilayah tengah Afghanistan. Menurut sang ayah, Abdul mengubur keinginannya untuk melanjutkan kuliah demi membantu keluarganya bertahan.

“Saya sudah tak bisa bekerja karena luka lama. Abdul mengambil alih semua tanggung jawab itu,” ujarnya seperti dikutip dari BBC.com, Kamis, 19 Juni 2025.

Keluarga menyatakan Abdul bekerja berdasarkan keyakinan bahwa lokasi proyeknya aman secara sipil, seperti yang disampaikan manajernya. Namun, kenyataan berkata lain.

BBC belum dapat memverifikasi secara independen rincian insiden ini, karena pembatasan media asing di Iran. Namun, rekaman video yang dikirimkan kerabat Abdul menunjukkan kepanikan warga saat ledakan mengguncang bangunan, disertai suara-suara panik dan puing beterbangan.

Dalam video itu terdengar seseorang berteriak memanggil nama Abdul, meminta dia untuk menyelamatkan diri.

Kini, jenazah Abdul masih berada di rumah sakit. Keluarga menyadari kemungkinan kecil untuk memulangkannya ke Afghanistan. “Setidaknya, Iran negara Islam. Jika dia harus dimakamkan di sini, kami terima,” ujar ayahnya.

Kematian Abdul mengguncang komunitas Afghanistan di Iran—yang berjumlah sekitar 4,5 juta jiwa, menurut PBB. Beberapa warga menyerukan keluarga mereka untuk kembali ke tanah air, meskipun dihadapkan pada tantangan ekonomi.

“Tidak sebanding nyawa anak-anak kita dengan pekerjaan di Iran,” ujar seorang warga.

Bahkan di tengah pembatasan informasi dan pemadaman internet, grup-grup WhatsApp menjadi tumpuan utama penyebaran kabar dan dukungan emosional.

Warga Afghanistan di beberapa kota menggambarkan malam-malam mencekam di bawah ancaman rudal dan dentuman ledakan, tanpa tahu kapan atau di mana yang berikutnya akan menghantam.

“Kalau ini terus berlanjut, ke mana kami akan pergi?” tanya seorang warga dari Mashhad.

Sejumlah warga, seperti Fereshteh, mantan pekerja NGO yang melarikan diri dari Taliban mengaku terjebak dalam dilema tragis.

“Kami dalam bahaya, baik di sini maupun di Afghanistan. Tapi saya tidak bisa kembali,” katanya. “Kami butuh bantuan.” ***

0 komentar: