
Seseorang bisa saja duduk di kursi kekuasaan, dan lupa bahwa ia pernah duduk di pojok kelas, menggenggam surat cinta yang tak sempat dibaca. Tapi Yandri Susanto tidak demikian.
Ia adalah lelaki yang menua bersama kenangan, bukan menyembunyikannya. Ia tidak menyapu jejak masa kecilnya di kampung, melainkan mengangkatnya, seolah masa lalu adalah akar yang tak boleh dicabut.
"Emak saya petani. Bapak kamu Kiai Besar. Itu seperti bumi dan langit," begitu katanya pada calon istrinya di awal mula cinta yang akan menyulam masa depan.
Tak banyak pejabat berani memulai cerita cintanya dari patah hati. Di kelas dua SMP, ia mengirimkan surat pada seorang gadis. Surat itu tidak hanya ditolak, tapi bahkan belum sempat dibaca: sudah dirobek.
Di mata banyak orang, itu kecil. Di mata anak lelaki yang sedang tumbuh, itu semacam gempa kecil di hati. Tapi hidup berjalan, dan Yandri, yang tidak pernah pacaran semasa kuliah, memupuk cintanya dalam diam yang panjang.
Goethe pernah berkata dalam The Sorrows of Young Werther (1774), "Cinta adalah segalanya. Cinta adalah sayap yang diberikan Tuhan kepada jiwa kita agar kita bisa terbang ke langit."
Dan rupanya, Tuhan menjawab sayap itu dengan sosok yang ia sebut sebagai "Ratu Zakiah". Dalam khidmat yang hening, ia mengulang: "Ratu Zakiah ini mimpi saya nih. Memang kayak gini yang saya cari."
Cinta itu datang bukan di kampus atau taman, tapi di sebuah acara formal di Cilegon. Ia datang terlambat, dan kursi yang kosong justru ada di samping seorang perempuan yang membuat temannya berbisik, "Ini kelihatannya jadi istri kamu nanti." Dunia kadang suka bermain-main dengan kebetulan, atau takdir menyamar sebagai gurauan.
Ketika meminta nomor telepon, ia tidak puas dengan satu jenis nomor. "Handphone bisa mailbox," pikirnya. Maka ia minta nomor rumah juga. Dites langsung, di hadapan si empunya.
"Benar rumahnya," kata Yandri. Cinta, rupanya, adalah juga semacam investigasi. Atau, setidaknya, konfirmasi akan harapan yang lama dipendam.
Dalam hidup Yandri, cinta bukan tentang kata-kata manis. Bukan rayuan yang dipoles. Tapi ketegasan sejak awal. Ia mengajukan syarat kepada calon istrinya sebelum menikah: jangan pernah menghina emak saya.
Ini bukan sekadar peringatan, tapi pengakuan. Tentang kelas sosial. Tentang luka lama yang tak ingin diulang. Dan tentang sebuah kesadaran yang jernih bahwa cinta harus dimulai dari penerimaan.
"Saya orang kampung. Kalau kamu mau, ya itulah saya. Saya buka semuanya," katanya.
Albert Camus pernah menulis dalam The Myth of Sisyphus (1942): "Pemberontakan terbesar adalah kejujuran di tengah absurditas." Yandri, dalam cinta dan hidupnya, melakukan pemberontakan itu.
Ia tidak berpura-pura menjadi bangsawan. Ia tidak menyembunyikan latar belakangnya di balik jas menteri. Ia justru membawa emak dan bapaknya ke istana, ke DPR.
Bukan sebagai aksesori, tapi sebagai bagian dari dirinya. "Saya nggak pernah malu. Bangga malah," ucapnya, hampir seperti sedang membela biografi hidupnya sendiri.
Hubungan Yandri dan istrinya adalah simetri dari pengabdian. Satu menjadi Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal. Satu lagi menjadi Bupati. Dua jalan birokrasi yang kadang tidak ramah pada cinta, tetapi mereka mengupayakan perjumpaan yang sederhana: pulang.
Walau dinas di Jakarta, ia usahakan tidak menginap di rumah dinas. Pulang ke Serang, walau harus tiba jam satu atau dua dini hari. "Kalau jam sebelas tuh udah dianggap cepat," katanya. Karena di rumah ada anak-anak, ada santri, ada yatim yang ia anggap anak didik. Dan tentu saja, ada istri.
Yandri tahu: negara bisa menunggu, tapi keluarga tidak. Di tengah kesibukan itu, komunikasi tetap berjalan setiap hari. "Saya tetap pulang. Tetap ketemu sama istri, sama anak-anak." Itu bukan kebetulan, tapi keputusan.
Simone Weil menulis dalam Gravity and Grace (1947), "Perhatian adalah bentuk cinta yang paling langka dan murni." Dalam dunia politik yang riuh, pulang ke rumah adalah bentuk perhatian yang tak dinyatakan dalam puisi, tapi dalam langkah kaki yang lelah.
"Siapa yang lebih romantis?" tanya pewawancara. "Istri kali," jawabnya, dengan tawa kecil.
Ia tidak mendaku dirinya pangeran. Ia justru merasa menemukan ratu yang lebih tahu bagaimana mencintai dengan ringan, namun dalam. Dalam dunia yang lebih banyak diisi janji kosong, Yandri memutuskan untuk mencintai dengan hadir, walau hanya sebentar malam.
Cinta di rumah itu bukan hanya tentang saling memuji, tapi saling memahami. Saling mengerti bahwa dunia luar bisa saja menjerat, tapi rumah harus menjadi tempat kembali.
Bagi seorang politisi, rumah bisa menjadi tempat sunyi yang menyejukkan, atau tempat sunyi yang menyakitkan. Yandri memilih menjadikannya ruang cinta yang tetap menyala.
Maka ketika ia berkata, "Ya Allah, saya tuh mau dapet jodoh yang kayak gini dalam bayangan saya," itu bukan sekadar pengakuan.
Itu adalah afirmasi hidup, bahwa cinta yang ia imajinasikan sejak dulu, meski tak pernah didekati dengan pacaran, akhirnya benar-benar datang. Tidak lebih, tidak kurang.
Jean-Paul Sartre pernah menulis dalam Being and Nothingness (1943), "Cinta adalah keinginan untuk memiliki kebebasan orang lain, namun tidak menghancurkannya." Cinta Yandri pada istrinya tampaknya berdiri pada pijakan ini: saling mendukung, tapi tidak mengekang.
Dua-duanya berkarier, dua-duanya melayani publik. Tapi rumah tetap utuh, karena didirikan di atas kejujuran dan niat baik.
Mungkin benar, cinta yang sejati tidak selalu berbunga-bunga. Ia tumbuh dalam tanah yang keras, disiram oleh upaya, bukan retorika. Cinta Yandri dan Ratu Zakiah tumbuh dalam kesadaran, dalam kerja, dan dalam pulang yang terus-menerus diperjuangkan.
Dalam dunia yang penuh simulakra, pasangan ini menunjukkan bahwa cinta bisa tetap nyata, bahkan di tengah panggung kekuasaan.
Dan di tengah semua itu, seorang lelaki dari kampung, yang dulu suratnya dirobek bahkan sebelum dibaca, kini memeluk Ratu dari mimpinya. Bukan di dongeng. Tapi di dunia yang sungguh-sungguh.*
0 komentar:
Posting Komentar